Gerak Senyap Cholid Abu Bakar, Dalang Teror Surabaya

Cholid Abu Bakar raib begitu lima bom beruntun mengguncang Surabaya, Minggu hingga Senin pagi, 13-14 Mei 2018. Bom-bom jenis ‘mother of satan’ yang biasa digunakan kelompok ISIS di Suriah dan Irak itu dibawa oleh tiga keluarga--yang seluruhnya jemaah pengajian Cholid.

 © Disediakan oleh Kumparan Lipsus dalang teror 

Tiga keluarga itu nyaris semua tewas, menggemakan kengerian ke seluruh dunia. Indonesia jadi negara pertama tempat teroris melancarkan serangan secara berkeluarga (family suicide bombers).

Keluarga Dita Oepriarto yang meledakkan bom di tiga gereja, keluarga Tri Murtiono yang meledakkan bom di pintu masuk Markas Polrestabes Surabaya, dan keluarga Anton Ferdiantono yang terkena ledakan bom yang tengah ia rakit di rusunnya sendiri, sama-sama berguru pada Cholid Abu Bakar.




“Mereka pengajian rutin tiap minggu, (datang ke pengajian) yang sama, sering bertemu,” kata Kapolda Jawa Timur Irjen Machfud Arifin, Selasa (15/5).

Pengajian biasanya digelar di rumah Dita--yang kemudian disebut polisi sebagai pemimpin JAD (Jamaah Ansharut Daulah) Surabaya. Ini bukan pengajian khusus bapak-bapak atau ibu-ibu seperti yang jamak dijumpai, melainkan pengajian keluarga dengan membawa serta istri dan anak-anak.

Pengajian pun dilengkapi dengan pemutaran tayangan jihad. “Anak-anak menjadi korban doktrin (radikal). Bapak, ibu, anak, ‘lewat’ semuanya. Anak-anak itu tidak disekolahkan,” tutur Machfud.

Keluarga Dita, Anton, dan Tri bukannya baru kenal dengan Cholid. Dua tahun lalu, Januari 2016, mereka bersama-sama mengunjungi Abu Bakar Ba’asyir, pemimpin spiritual Jemaah Islamiyah dan penasihat Jamaah Ansharut Khilafah (JAK), di Lapas Kembangkuning, Nusakambangan.

“Dita dan (Cholid) Abu Bakar sama-sama mengunjungi Abu Bakar Ba’asyir tahun 2016,” kata Kabid Humas Polda Jatim Kombes Frans Barung Mangera.

Namun bukan cuma Dita dan Cholid yang menyambangi Ba’asyir. Penelitian Pusat Kajian Radikalisme dan Deradikalisasi menemukan nama Tri, Anton, dan Budi Satrio ikut menyeberang ke Nusakambangan bulan Januari 2016 itu, pada hari yang sama dengan kedatangan Dita dan Cholid.

Budi Satrio telah tewas dalam penyergapan polisi di rumahnya, Sidoarjo, Senin (14/5). Ia, menurut Kapolri Jenderal Tito Karnavian, merupakan tokoh nomor dua di JAD Surabaya setelah Dita. Budi disebut sebagai penampung dana JAD Jatim.

Masih pada bulan yang sama, Januari 2016, Dita, Tri, dan Anton--tanpa Budi dan Cholid--juga menjenguk Aman Abdurrahman, pemimpin JAD, di penjara.

“Masak kalau nggak kenal bisa berkunjung bersama,” kata Adhe Bhakti, pakar terorisme dan Direktur Eksekutif PAKAR kepada kumparan, Kamis (17/5).

Kunjungan tamu bagi narapidana teroris, menurut Ali Fauzi--eks anggota JI yang juga adik Amrozi teroris Bom Bali--memang kerap menyambung komunikasi yang terputus di balik dinding penjara.

“Meski pemimpin ditangkap, jaringan second line masih aktif. Membesuk mereka yang ada di dalam bui itu bagian dari membangun komunikasi,” ujarnya.

Cholid, guru mengaji para bomber Surabaya, sesungguhnya bukan orang baru meski jarang terdengar. Ia tergolong senior, dan perannya bukan tak penting meski namanya tak muncul dalam struktur apa pun di JAD.


© Disediakan oleh Kumparan Lipsus Teroris 

Seperti Aman Abdurrahman, Cholid Abu Bakar adalah ideolog. Otak dari ideologi radikal yang menyusup dan mengental di kepala keluarga Dita, Anton, dan Tri. Ia amat mungkin mastermind di balik teror Surabaya.

“Dia dulu simpatisan JI, lalu beberapa tahun terakhir ‘mengeras’ menjadi pro-ISIS, dan berangkat ke Suriah. Berhasil masuk Suriah selama 1,5 tahun. Dia baru pulang ke Indonesia tahun 2017, masih segar,” kata Ridwan Habib, pengamat terorisme UI dan Koordinator Eksekutif Indonesia Intelligence Institute.

“Saya menduga, Cholid yang mengatur pembagian tugas (dalam teror Surabaya), misal menyuruh ‘Lo bantu logistik’, ‘Lo bantu rakit’, ‘Lo cari dana’, dan seterusnya,” ujar Ridwan.

Nama mirip Cholid, Khalid Abu Bakar, tercantum dalam data deportan milik Civil Soceity Against Violent Extremism. Namun Cholid--jika telah tinggal 1,5 tahun di Suriah seperti kata Ridwan--mestinya bukan deportan, sebab deportan belum sampai Suriah. Mereka biasanya ditangkap di Turki atau perbatasan Suriah, lantas dideportasi ke Indonesia.

Cholid seharusnya masuk golongan returnee--mereka yang kembali dari Suriah dan sudah berperang atau setidaknya menerima pelatihan di sana.

“Di data deportan tahun lalu ada nama Khalid Abu Bakar. Dia kembali ke Indonesia Januari 2017. Kami belum bisa memastikan itu (dengan Cholid Abu Bakar), tapi perkiraan kami itu orang yang sama,” kata Mira Kusumarini, Direktur Eksekutif C-SAVE kepada kumparan, Rabu (16/5).

Returnee lebih berbahaya dari deportan. Tak semua returnee terdeteksi karena mereka belum tentu terdata oleh aparat kepolisian Turki maupun Indonesia.

Artinya, gerakan returnee macam Cholid Abu Bakar macam bayang-bayang yang lebih sulit dilacak. Hingga sekitar 30 terduga teroris yang dibekuk Kepolisian sampai sekarang, Cholid belum tertangkap.

“Masih dikejar,” kata Kapolda Jawa Timur Irjen Machfud Arifin belum lama ini.

Sepulang dari Suriah tahun 2017, Cholid diam-diam terus mengembangkan dakwah versinya. “Termasuk menjadi motor kelompok Dita di Surabaya,” ujar Ridwan.

Operasi senyap Cholid makin berbahaya karena ia bergerak luwes lintas faksi pro-ISIS. Ia diterima di JAD, JAK, sampai faksi Abu Husna (Katibah al-Iman).

“Cholid tidak eksklusif, dan itulah kehebatan dia. Komunikasinya dengan jejaring-jejaring kelompok klandestin lama masih berjalan,” kata Ridwan saat berbincang dengan kumparan.


NEXT 
Share on Google Plus

About admin

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.

0 komentar:

Post a Comment